Surat Terbuka Buat Menteri Pendidikan

IMG20200408132721Kepada Yth.:
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nadiem Makarim
Di tempat

Salam pendidikan,

Pendidikan itu penting tapi kesehatan lebih utama. Orang dengan sedikit pengetahuan tapi sehat bisa belajar, sebaliknya yang berilmu tapi sakit, lama kelamaan kepandaiannya tumpul juga.

Once you stop learning, you start dying – Albert Einstein

Wabah Corona di Indonesia dimulai awal Maret, ketika dua warga Depok, Jawa Barat dikonfirmasi positif covid-19. Setelah itu, jumlah penderita corona terus bertambah sehingga akhirnya pertengahan Maret, pemerintah memutuskan menghentikan kegiatan belajar mengajar di sekolah untuk mengurangi penularan, terutama pada anak-anak. Sistem belajar diubah menjadi online. Tak hanya sekolah, bekerja pun dari rumah. Anak belajar online, orang tua juga bekerja online.

Mendadak online ini, memang terasa berat. Sekolah tidak siap, guru meraba-raba, murid terkaget-kaget, orang tua apalagi. Tanpa persiapan materi pelajaran, fasilitas internet yang tidak memadai, dan tentu saja ketidaksiapan mental semua yang terlibat dalam pendidikan jarak jahu (PJJ) tersebut.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia – KPAI menunjukkan ketidaksiapan tersebut. Survei yang dilakukan 13-21 April 2020 di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota itu menunjukkan sebanyak 80 persen responden menyatakan dalam pembelajaran jarak jahu tersebut, tidak ada sama sekali interaksi antara guru dan murid. Percakapan hanya terjadi sebatas memberi dan menagih tugas. Keluhan lainnya adalah sarana belajar yang terbatas dan tugas yang terlalu banyak. Mayoritas siswa tidak senang dengan model pembelajaran ini.

Dalam dua setengah bulan menemani anak belajar (Kelas III, Sekolah Dasar), baik dari sekolah maupun program Belajar dari Rumah TVRI. Saya juga menemukan ketidaksiapan tersebut. Modul sekolah masih materi tatap muka yang ditransfer menjadi modul jarak jarak. Ada banyak materi yang tidak sesuai sehingga tidak bisa dikerjakan siswa.

Ketika belajar tentang arah mata angin misalnya di buku ada syair dan nadanya, tapi murid tidak bisa menyanyikannya. Beruntung dulu lagu ini sudah diajarkan ketika saya SD, sehingga saya bisa menyanyikannya kepada anak saya dan dia itu membantunya menyebutkan delapan arah mata angin. Dalam hal ini, harusnya ada video tentang arah mata angin tersebut lengkap dengan lagunya.

Itu baru satu contoh sederhana, masih banyak contoh lainnya terutama matematika dan olah raga yang membutuhkan materi berbentuk video, selain yang tertulis di buku tematik mereka. Video membantu mereka mengerti apa itu data dan bagaimana membuat diagram batang dari data tersebut. Dalam pelajaran olah raga, ada gerakan-gerakan di buku yang kalau di kelas, pasti dipraktikkan ibu guru dan muri-murid mengikutinya.

Sekali lagi, beruntung anak saya masih SD, saya bisa mengajari dia apa itu data dan bagaimana membuat diagram batang. Bagaimana dengan orang tua yang anaknya SMP dan SMA, saya tidak yakin semua orang tua mengerti dan bisa mengajari anak-anaknya matematika. Saya sih menyerah kalau harus mengajarkan trigonometri, sinus cosinus, dan berbagai rumus matematika lainnya.

TVRI menawarkan program Belajar dari Rumah. Saya ikut menonton program tersebut setiap pagi karena sekolahnya pada hari-hari tertentu meminta anak-anak menjawab pertanyaan dari program belajar TVRI dan dikirim ke ibu gurunya. Dari program PAUD sampai SMA, masing-masing hanya diberi waktu setengah jam. PAUD setengah jam, menampilkan ‘Sesame Street’ yang menurut saya baguslah sebagai alternative pembelajaran bagi anak-anak yang sedang belajar huruf, angka, dan membangun karakter.

Setengah jam berikutnya untuk kelas 1-3, 4-6, SMP dan SMA, ditayangkan berturut-turut. Penggabungan kelas seperti itu tentu saja tidak memadai buat menambah pengetahuan anak-anak. Saya kasih contoh kelas 1-3, pelajaran Matematika menampilkan video Pak Ridwan dengan taglinenya ‘Belajar Matematika itu Mudah.’ Tapi, karena setengah jam disatukan untuk kelas 1-3, apa yang bisa didapat anak?

Hari ini misalnya yang ditayangkan pelajaran kelas 1, besoknya kelas dua, lalu lusanya kelas tiga. Lalu anak saya bilang, ’’Inikan kelas satu.’’ Dia tidak fokus lagi meski tetap menontonnya karena kewajiban tugas sekolah. Tidak ada tambahan pengetahuan yang dia dapat. Menurut saya, program belajar TVRI hanya tambahan, bukan juga alternatif, tidak bisa menjadi andalan bagi murid-murid di level manapun.

Saya harus menyimpulkan program jarak jahu yang mendadak online sangat mengurangi kualitas pendidikan yang didapat anak-anak. Baik dari sisi pengetahuan maupun bersosialisasi dengan teman-teman, guru, dan orang-orang di sekolah.

Program belajar online mendadak sehingga tanpa persiapan tersebut, membuat kami resah terhadap pengetahuan yang mereka terima. Tapi, kami lebih resah lagi ketika mengetahui sekolah akan dibuka Juli mendatang. Di tengah pandemi yang belum menunjukkan penurunan penyebaran, pemerintah membuka wacana, anak-anak akan kembali bersekolah tahun ajaran baru mendatang, yaitu Juli 2020.

Sebagai orang tua, yang tahu kondisi sekolah, mengerti tentang bagaimana tingkah laku anak-anak di sekolah, wacana tersebut tentu saja membuat kami gelisah dan ketakutan. Mereka pasti tidak bisa jaga jarak, jengah memakai masker, lari sana-sini, bermain di taman, lupa mencuci tangan, jajan di kantin, berbagi makanan dengan teman-temannya, dan lain sebagainya.

Menyuruh mereka bersekolah lagi ketika pandemi masih merebak sama seperti merelakan mereka pergi ke pertarungan yang bukan kelas mereka. Mereka mungkin tahu ada virus yang mengintai, tapi mereka belum mengerti dan belum bisa mengatasinya dengan baik.

Dengan semua kondisi tersebut, saya menolak kalau sekolah dibuka lagi, Juli ini. Sebenarnya, sekolah jarak jahu tidak mudah bagi orang tua. Kami yang tidak pernah dididik menjadi guru tiba-tiba harus pontang-panting menghadapi anak-anak yang tentu saja juga tertekan. Kami yang masih harus bekerja dari rumah, mencuci baju, mengepel, masak, menyetrika, lalu menemani mereka belajar. Seringkali tekanan tersebut membuat kami lepas kontrol, marah-marah. Sudah pasti, kami ingin segera keluar dari keadaan tersebut.

Tapi, kalau melihat situasi yang belum sepenuhnya aman, saya bersedia melakukannya dari pada anak-anak tertular virus covid-19. Kami tidak tega melihat mereka sakit. Kalau sakit, mereka tidak bisa sekolah juga. Dampaknya menjadi ganda: sakit dan tidak bisa bersekolah. Saya membaca di Korea Selatan, 251 sekolah ditutup kembali karena kasus corona di negeri ginseng itu melonjak lagi. Ratusan lainnya menunda pembukaan kembali sekolah.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan tidak benar anak-anak tidak rentan terhadap Covid-19 atau hanya akan menderita sakit ringan. Mereka menemukan angka kesakitan dan kematian anak akibat wabah tersebut di Indonesia tergolong tinggi. Sampai 18 Mei 2020, jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) anak-anak mencapai 3.324 orang. Sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif virus corona, dan 14 di antaranya meninggal. Berdasarkan itu, mereka menyarankan agar pendidikan anak usia sekolah tetap dilakukan jarak jahu atau online. Dan, mereka memperkirakan sampai Juni mendatang, wabah tersbut belum akan teratasi.

Jadi, tolong Mas Menteri Pendidikan yang kami hormati. Pendidikan memang penting, tapi kesehatan anak-anak adalah yang utama dan terutama. Bagi saya, tidak mengapa kualitas pendidikan yang mereka dapat berkurang, mungkin 10 persen, 20, atau bahkan 50 persen. Tapi, kami yakin jika mereka sehat dan wabah ini sudah lenyap, mereka bisa mengejar ketertinggalannya. Kami bersedia membantu sekolah untuk mengejar ketertinggalan tersebut, misalnya dengan menambah jam pelajaran mereka ketika sudah pulang dari sekolah.

Yang saya dengar, pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan sudah menyiapkan tiga skenario, yaitu:
1. Jika Covid-19 berakhir akhir Juni 2020, siswa masuk sekolah di minggu ketiga Juli 2020;
2. Jika Covid-19 berlangsung sampai September 2020, siswa belajar dari rumah dilaksanakan sampai September 2020;
3. Semua siswa belajar dari rumah selama satu semester penuh jika Covid-19 masih ada sampai akhir tahun.

Jadi, sekali lagi, tolong Mas Menteri, dengan semua pertimbangan di atas, opsi ketiga yang diambil. Buka kembali sekolah ketika wabah ini benar-benar sudah lenyap, ketika vaksin atau obatnya sudah berhasil dibuat. Kita mundur selangkah, untuk maju seribu langkah. ‘’Buat anak, jangan pernah coba-coba.’’

Salam hormat,
Leanika Tanjung
Orang tua murid

Leave a comment